Minggu, 03 Mei 2009

Basic Trauma Life Suport (BTLS)

BTLS adalah bagian awal dari ATLS, sebuah pelatihan yang dikembangkan  untuk dijadikan standar dalam pelayanan awal pasien trauma. Tujuan dari pelatihan BTLS ini adalah untuk mempermudah mempelajari ATLS nanti. Pada BTLS ini dokter atau tenaga kesehatan lainnya tidak diminta untuk memberikan tatalaksana sesuai diagnosis definitif nya tapi hanya memberikan kesempatan bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan nanti nya. Inti nya pada tahap ini, dokter hanya diminta membantu pasien untuk tetap hidup atau membuat reaksi kimia C6H12O6 + 6O2 ---> 6CO2 + 6H2O tetap berlangsung

Apa yang dilakukan seseorang bila melihat pasien trauma??

Jawaban yang terbaik dan terbijak adalah "MINTA TOLONG." Minta tolong disini bukan berarti kita menunjukan pada orang lain bahwa kita tidak mampu mengerjakannya sendirian. Tapi makna di dalam nya adalah dengan adanya orang lain kita dibantu untuk tidak mengerjakannya sendirian. Tentunya tidakan penyelamatan hidup pasien membutuhkan suatu tim yang saling bekerja sama. Dan jawaban yang kedua adalah kita membutuhkan saksi bahwa semua yang nantinya akan kita kerjakan atas dasar penyelamatan hidup pasien. 

Hal yang kedua yang harus dilakukan proteksi diri! Selamatkan diri kita sebelum menolong orang lain. Kalau berada di lingkungan yang mengancam nyawa ( contoh: di ruangan yang sedang terbakar) anda dan pasien maka menjauhlah terlebih dahulu, dan kalau bisa membawa serta pasien nya). 

Bentuk proteksi diri lainnya adalah penggunaan head cap, gown, gloves, mask, shoe covers, goggles, shields. Tujuan nya selain menghindarkan penyebaran infeksi dari pasien-dokter atau sebaliknya juga digunakan untuk bergaya (Hehehe)

Hal yang berikutnya dilakukan adalah PRIMARY SURVEY!! Di sini dokter diminta menilai secermat mungkin hal apa yang mengancam nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara lain:

  A : Airway with c-spine control

 B : Breathing and ventilation

  C : Circulation with haemorrage control

  D : Disability (neurologic evaluation)

  E : Exposure and Environment 

 

1. Airway with c-spine contol.

  Airway tentunya hal pertama yang harus kita pikirkan dalam penyelamatan seorang pasien. Dokter diharapkan bisa memberikan distribusi oksigen dalam kurang waktu 8-10 menit. 

  Bagimana assessment nya?

  Kalau pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang arti nya airway is clear. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang keluar dari hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera. 

Kalau pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian Look-Listen-Feel. Lihat gelisah atau tidak, gerakan dinding dada, dengarkan ada atau tidak suara nafas, rasakan hembusan nafas pasien dari pipi dalam satu waktu.

Kalau terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya disebabkan obstruksi akibat benda asing. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain memberikan penekanan pada dinding abdomen melalui manuver Heilmicth atau Manuver Abdominal Trust. Kalau untuk anak kecil bisa dibantu dengan membalik posisi anak secara vertikal agar mempermudah keluarnya benda asing. Tindakan yang disebutkan di atas dilakukan pada pasien sadar. Sementara pada pasien tidak sadar yang bisa dilakukan antara lain; finger sweep, abdominal trust, dan instrumental.

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:

 1. Gurgling (kumur-kumur) --> obstruksi akibat adanya air dalam saluran nafas.  Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni, yang elastic dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah diarahkan. Jangan melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul vagal refleks.

 2. Stridor (crowing) --> obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT. Penanganan pertama nya dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

 3. Snorg (mengorok)  --> biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat dan pasien dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui bantuan instrumen.

Tidakan berikut nya dengan pemasangan oropharingeal tube (untuk pasien tidak sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien sadar. Sebagai tambahan info, bahwa pada oropharingeal tube terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum memasangnya dokter harus menentukan ukuran yang sesuai. Cara mudah nya dengan menyamakan ukuran dengan panjang dari lubang telinga ke sudut mulit atau panjang dari sudut telinga ke lubang hidung, Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.

C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami trauma basis cranii. Ciri nya adalah keluar darah atau cairan (LCS) bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi:

- Multiple trauma

- Terdapat jejas di daerah serviks ke atas

- Penurunan kesadaran.

Jika semua nya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.

 

2. Breathingg and Ventilation

Setelah jalan nafas aman, maka penilaian berikutnya adalah BREATHING!! Liat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi sidaerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup. Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.

Bagaimana jika terdapat henti napas??

Hal yang dapat dilakukan antara lain RESUSITASI PARU, bisa dilakukan melalui:

1. Mouth-to mouth

2. Mouth to mask

3. Bag- to mask (Ambu bag).

Nah.. kalau terdapat ventilator maka oksigen dapat diberikan melalui;

  1. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
  2. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya sebesar 35-60%.
  3. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask ini lah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa terinhalasi kembali.

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung


3. Circulation and haemorage control

Bagaimana assessment nya?

Pertama kali yang harus penyelamat perhatikan adalah kemungkinan pasien menagalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah atau tidak teraba. Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock hemoragik. Jadi dalam penatalaksanaan nya yang pertama adalah tangani status cairan pasien dan cari sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan.  Berikan cairan intravena kemudian tutup luka dengan kain kassa, immobilisasi.  Pemberian cairan intravena harus pada suhu yang hangat agar tidak memperberat kondisi pasien (pemsukan cairan yang memiliki suhu lebih rendah daripada suhu tubuh menyebabkan vasokontriksi sehingga nantinya menurunkan perfusi). Status hidrasi pasien juga harus diukur melalui output cairannnya sehingga sering diikuti dengan pemasangan kateter. Namun pemasangan kateter dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami ruptura uteri. Ciri nya terdapat darah pada OUE atau lebam pada perineal atau skrotum.

Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock antara lain luka pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan torak yang massive.

Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.


4. Disability.

Pada tahap ini dokter  diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan pupil serta kecepatannya.

Hal yang dinilai dari GCS antara lain (E-V-M)

  1. Eye :
    1. Membuka mata spontan 4
    2. Membuka mata karena suruhan 3
    3. Membuka mata sebagai respon nyeri 2
    4. Tidak membuka mata 1
  2. Verbal
    1. Terorientasi baik 5
    2. Tidak tersusun tapi tetap terorientasi 4
    3. Tidak terorientasi 3
    4. Bersuara tapi tidak dalam bentuk kata 2
    5. Tidak bersuara 1
  3. Movement
    1. Obeys commands 6
    2. Localize to pain 5
    3. Flexi to pain 4
    4. Abnormal flexion to pain 3
    5. Extension to pain 2
    6. Tidak ada respon motorik 1

 Kesadaran baik >13, sedang 9-12, Buruk /koma <8

Respon pupil dinilai pada kedua mata. Jika terdapat lateralisasi maka kemungkinan terdapat cedera kepala yang ipsilateral. Jika respon pupil lambat maka kemungkinan terdapat cedera kepala.

 

5. Exposure dan Enviroment.

Buka pakaian pasien untuk mengeksplorasi tubuh pasien untuk melihat kemungkinan adanya multiple trauma. Kemudian selimuti pasien agar mencegah hipothermi.

Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali SECONDARY SURVEY. Dokter diharapkan memriksan kembali dari awal, anamnesis riwayat pasien, lakukan pemeriksaan neurologi yang komplit (tes refleks, CT-scan, MRI), dan membuat diagnosis spesifik, dan lainnya.